05 Agustus 2009

Bijak Konsumsi Obat


JAKARTA–Obat-obatan merupakan salah satu terapi yang digunakan oleh dokter dan ahli medis lain untuk menyembuhkan pasien. Namun, jika digunakan berlebihan dan tidak tepat justru dapat mengganggu organ hati (liver)

Sayangnya, masyarakat di Indonesia masih banyak yang menganggap hal itu sebagai suatu kewajaran. Selain itu, kebiasaan yang berlaku adalah meminta obat untuk masing-masing gejala penyakit yang timbul.

Misalnya, seorang ibu yang anaknya menderita diare, dia akan meminta obat untuk mencretnya, lalu obat untuk mualnya, nafsu makannya, juga obat untuk kepala pusing. Alhasil saat pulang, ibu bisa membawa lebih dari tiga macam obat untuk anaknya.

”Padahal untuk penyakit harian seperti diare, batuk, demam, atau radang tenggorokan tidak perlu sampai lebih dari dua obat,” kata dr Purnamawati S Pujiarto SpAK MMPed, duta WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) untuk penggunaan obat secara rasional, dalam sebuah seminar di Kemang Medical Care, Jakarta, belum lama ini.

Ketika Anda atau keluarga Anda menderita penyakit harian, mestinya tak perlu panik. Dokter yang akrab disapa Wati itu mengatakan, penyakit harian akan sembuh sendiri dalam beberapa hari tanpa bantuan obat.

Penyakit tersebut merupakan hal alami yang terus terjadi dalam tubuh manusia. Perlu ditahui, penyakit ringan itu merupakan cara alami manusia untuk memerangi bakteri atau virus jahat dalam tubuh. Jadi, jangan terlampau tergantung pada obat.

Wati mengingatkan, meski obat sangat berguna bagi kesehatan namun jika digunakan sembarangan akan merugikan kesehatan itu sendiri. Sangat penting untuk menggunakan obat secara rasional dan bijaksana, utamanya demi menjaga fungsi hati.

Wati memaparkan, sebagian besar obat tidak larut dalam air sehingga perlu diproses di hati agar menjadi komponen yang larut dalam air.

”Sehingga jika menggunakan obat terlalu banyak dan tidak tepat akan merusak kerja hati. Selain itu, ginjal juga akan kesulitan mengeluarkan zat-zat yang tidak dibutuhkan oleh tubuh,” kata alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) tahun 1978 itu.

Dia memberi contoh, obat batuk pilek yang mengandung dekongestan. Kandungan ini (dekongestan), kata dia, tidak pernah terbukti efektif menangani batuk pilek. Bahkan di beberapa negara, dekongestan sudah dinyatakan tidak aman diberikan pada bayi dan anak kecil.

Saat Anda batuk, jangan pernah meminum obat untuk menekan batuk. Pasalnya, batuk berfungsi untuk membantu membersihkan jalan napas sehingga tidak boleh ditekan. ‘

‘Golongan yang paling rentan terkena efek tidak baik dari penggunaan obat yang kurang tepat adalah anak-anak dan manula,” kata Wati, yang pada 1994-2003 menjadi staf pengajar di Sub Bagian Hepatologi Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI.

Ada sejumlah jurus yang bisa dilakukan untuk mencegah penggunaan obat yang tidak rasional. Salah satunya dengan membangun hubungan baik antara pasien dan dokter dalam sebuah sesi pengobatan.

Wati menggambarkan, ketika pasien datang, dokter harus mengumpulkan data perihal permasalahan, perjalanan penyakit dam pengobatan yang pernah diperoleh pasien. Dokter lalu memberikan diagnosis yang tepat dan akurat, dilanjutkan dengan pemilihan obat yang efektif, aman, cocok, terjangkau dan mudah didapat.

Dokter juga harus menjelaskan manfaat dan efek samping obat serta tindakan yang mesti dilakukan jika terjadi efek samping.

Sebagai pasien, Anda tak harus selalu menerima atau puas dengan apa yang dilakukan dokter. Anda berhak menanyakan banyak hal seputar penanganan penyakit. Setelah mendapatkan obat, selayaknya pasien dapat bertanya, apakah dirinya memang perlu mendapatkan obat itu, kandungan aktif obat, bagaimana mekanisme kerja obat, indikasi, kontra indikasi dan efek samping.

Pendek kata, jadilah pasien yang kritis. ”Ini justru dapat memberikan banyak pengetahuan, sekaligus mengamankan Anda dalam mengonsumsi obat,” kata Wati yang juga menulis buku Q&A Smart Parents for Healthy Children.

Pasien juga harus memahami, tidak selamanya dokter harus memberikan obat. ”Sebuah pelayanan kesehatan yang baik tidak berarti mengeluarkan obat sebagai hasilnya, melainkan sebuah konsultasi dan diskusi antara pasien dan dokter tentang penyakit dan cara penanganannya,” pungkasnya.

Sumber : Republika

0 komentar: